Seni dan Agama

Membicarakan fenomena agama dan seni sangat menarik karena hubungan yang erat antara keduanya. Seni atau kesenian adalah manifestasi budaya (priksa, rasa, karsa, intuisi, dan karya) manusia yang memenuhi syarat-syarat estetik. Dalam ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa seni merupakan penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa orang, dilahirkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera, baik itu pendengaran (misalnya seni suara), indera penglihatan (misalnya seni lukis) ataupun yang dilahirkan dengan perantaraan gerak (misalnya seni tari dan drama). Secara garis besar, seni dapat dibedakan atas hal-hal sebagai berikut:
1.    Seni sastra atau kesusastraan, yaitu seni dengan alat bahasa.
2.    Seni musik yaitu seni dengan alat bunyi atau suara.
3.    Seni tari yaitu seni dengan alat gerak.
4.    Seni rupa yaitu seni dengan alat garis, bentuk, warna.
5.    Seni drama atau teater yaitu seni dengan alat komunikasi sastra, musik, tari atau gerak atau rupa.
Seni di kalangan masyarakat primitive jelas merupakan ekspresi kepercayaan mereka. Seni tari yang mereka kembangkan adalah dalam rangka pemujaan hewan totem. Seni pahat, nyanyian atau suara, juga demikian.demian juga masyarakat primitive yang lain, karya seni mereka tidak dapat dipisahka, bahkan penampilan, dari keyakinan keagamaan atau kepercayaan itu sendiri. Tarian dan nyanyian masyarakat primitive adalah tarian dan nyanyian mistik.
Masyarakat kuno yang telah maju, seperti bangsa mesir kuno, telah mampu menghasilkan karya pyramid, obelisk, spink, lukisan dan huruf hyeroliph. Pyramid dan tempat penyimpanan mayat dalam gua-gua batu dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan keajaiban dunia sampai saat ini. Keberhasilan demikian di dorong oleh kepercayaan ada hidup sesudah mati. Di ruangan tempat mayat disimpan, penuh dengan tulisan hyerogliph yang mengajarkan bagaimana nanti perjalanan sesudah mati dan bagaimana menghadapinya. Mayat mereka juga dibalsem supaya awet karena juga didorong oleh kepercayaan kepada keabadian. Karya seni besar di India, yaitu kisah Ramayan dan Mahabharata, jelas kisah epik keagamaan Hindu. Candi juga peninggalan seni bangunan dan arsitektur keagamaan Hindu dan Budha.
Di Bali sampai saat ini dapat disaksikan dengan jelas betapa seni ukir dan seni tari berkembang demikian pesat sehingga menjadi daya tarik turisme mancanegara karena digerakkan oleh kepercayaan mereka. Pura, bahkan bangunan rumah sekali pun, dibuat dengan ukiran berbagai dewa. Gereja dan nyanyian kebaktian dalam Kristen adalah penampilan dari karya seni arsitektur dan seni suara yang dilahirkan oleh paham dan rasa keagamaan penganutnya.
Gambaran yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa Islam sudah lama menumbuhkan sebuah tradisi seni yang adiluhung, terutama dalam sastra, kaligrafi, seni dekoratif dan lain-lain. Seni kaligrafi dan arsitektur masjid dalam islam juga karya seni yang berhubungan dengan wahyu dan tempat menyembah Allah. Para sufi menulis cerita dan puisi yang sarat dengan pengembaraan mereka mendekati dan menemui Allah di alam ruhani. Kelompok keagamaan yang berusaha untuk lebih kaffah menampilkan seni nasyid dan pembacaan Alquran dengan seni murattal, tidak dengan terlalu diragukan. Tidak seperti paham keagamaan yang agak longgar. Seni mereka adalah nyanyian gambus dan bacaan alquran dengan irama yang agak bersifat tarik suara seperti yang sering di dengar dalam Musabaqah Tilawatil Quran. Dengan demikian, jelas betapa seni suatu umat beragama tidak lain dari ekspresi keagamaan mereka itu sendiri. Bahkan, suatu kelompok keagamaan juga punya kesenian yang berbeda dengan kelompok lain.
Dalam Islam, tidak ada teori atau ajaran yang terinci mengenai seni dan estetika (berbeda halnya dengan etika). Jika disimpulkan hal tersebut tidak keliru, hanya saja kita mencatat hal-hal sebagai berikut Islam adalah agama fitrah, agama yang serasi benar dengan fitrah kejadian manusia (ar-Ruum: 30). Kesenian bagi manusia juga termasuk fitrahnya. Kesanggupan berseni ini pulalah yang membedakan antara manusia dan makhluk Tuhan lainnya.
Allah memiliki segala sifat yang baik (al-A’raaf: 10), seperti Jamal (Mahaindah), Jalal (Mahaagung), dan Kamal (Mahasempurna). (as-Sajdah: 6, 23, 14), sedangkan manusia merupakan khalifah Tuhan (al-Baqarah: 30;al-An’aam: 165; al-Ahzaab: 72; Faathir: 39) mengemban amanah mewakili Tuhan diatas dunia dalam batas-batas kemampuan manusia.
Seni adalah hidup, sekaligus bagian dari hidup manusia. Seni juga merupakan manifestasi dan refleksi dari kehidupan manusia. Memenuhi panggilan kepada yang lebih menghidupkan manusia dalam pelbagai lapangan adalah wajib bagi muslim menurut kemampuan mereka masing-masing. Berkreasi seni merupakan jawaban positif terhadap panggilan yang lebih menghidupkan itu.
Kesenian itu pada dasarnya menurut penilaian hukum Islam adalah mubah, jaiz, boleh. Hal-hal lain yang diluar seni itu sendiri dapat membawa perubahan kepada penilan hokum itu, umpamanya dari mubah menjadi makruh. Sebaliknya karya seni, yaitu hal-hal yang memenuhi syarat-syarat estetik, menurut penilaian Islam merupakan karya, sekaligus ibadah atau pengabdian bila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Ikhlas sebagai titik tolak
b.    Mardhatillah sebagai titik tuju
c.    Amal saleh sebagai garis amal
Pertanyaan lama yang senantiasa baru dalam estetika dan kehidupan kesenian adalah “Seni untuk senikah? Seni untuk rakyatkah? Seni untuk manusiakah?” bagi setiap muslim tidak sulit untuk menentukan jawaban atas pertanyaan atas pertanyaan itu. Seni merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Dengan demikian, pertanyaan “seni untuk apa?” Sama saja dengan “hidup untuk apa?” tujuan kesenian adalah sama dengan tujuan hidup itu sendiri. Tujuan hidup setiap muslim adalah kebahagiaan spiritual dan material di dunia dan akhirat serta menjadi rahmat bagi segenap alam dibawah naungan keridhaan Allah.
Ditinjau dari fungsinya, maka seni merupakan media untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Allah telah berkenan menganugerahi manusia dengan berbagai potensi, baik potensi rohani (af’idah) maupun potensi indrawi (mata, telinga, dan lain sebagainya). Fungsi seni adalah untuk menghayati sepuhan Allah (shibghatu’ilah), baik yang teradapat pada alam, maupun yang terdapat pada kreasi manusia. Seorang muslim yang baik, yang terikat jiwanya kepada Islam, yang berkreasi seni pada hakikatnya adalah melaksanakan tugas ibadah dan menunaikan fungsi khilafah.
Persoalan hubungan Islam dengan seni, sebenarnya bukan hanya persoalan sikap kebanyakan ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam) yang kaku dan risih terhadap kegiatan seni. Persoalan yang tak kalah penting justru menyangkut hal-hal mendasar. Pertama, menyusutnya ingatan kolektif umat Islam terhadap khazanah budaya Islam, khususnya seninya, yang kaya dan pernah berkem_ang selama beberapa abad bukan saja di belahan negeri Arab dan Persia, tetapi juga di kepulauan Nusantara; Kedua, merosotnya pemahaman konseptual tentang seni di kalangan luas pemeluk agama Islam, serta ketidakpedulian mereka terhadap arti dan peranan penting seni dalam kehidupan. Khususnya sebagai sarana pendidikan dan pemekaran imaginasi, yang niscaya bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan dan peningkatan kreativitas umat.
Akan tetapi, karya seni masyarakat secular tampak sudah demikian materialis dan biologis. Yang menjadi tumpuan perhatian, seperti dalam percintaan muda mudi, adalah kecantikan wajah dan penampilan, tidak budi luhur dan kedalaman perasaan. Tarian juga sangat di dominasi goyang dan penampilan erotis. Semua penampilan materialis biologis dari seni modern tidak terlepas dari kaitannya dengan “agama”. Seni masyarakat sekular dihasilkan oleh “agama” mereka yang dinamakan materialisme itu. Materialisme dianut dan dipercayai sebagai suatu kebenaran satu-satunya. Materi dan fisik adalah sesuatu yang amat dipentingkan dan mendominasi kehidupan masyarakat modern, sehingga lahirlah seni yang vulgar.
Dengan kata lain, tanpa disadari, hiburan dan seni telah terkontaminasi oleh kemewahan dan budaya hedonism terutama dari sisi estetika yang indah dan lurus. Sebagian orang menggambarkan umat Islam sebagai masyarakat ahli ibadah dan kerja keras, maka tak ada tempat bagi orang-orang yang lalai dan bermain-main, seperti tertawa bergembira ria, bernyanyi atau bermain music. Tidak boleh bibir tersenyum, hati senang, dan tak boleh kecantikan terlukis pada wajah-wajah manusia.
Mungkin sebagian orang yang berfikiran ekstrim setuju terhadap sikap mereka yang bermuka masam, dahi berkerut, dengan penampilan seram dan orang yang keras, putus harapan gagal atau gagap. Namun, sebenarnya keperibadian yang buruk ini bukanlah dari ajaran agama. Artinya, mereka sendirilah yang mewajibkan tabiat buruk tersebut atas nama agama. Sementara agama sendiri tidak memerintahkannya, melainkan persepsi merekalah yang keliru.
Kebalikan dari tabiat di atas adalah orang-orang yang bebas mengumbar hawa nafsunya, di mana hidupnya diisi dengan hiburan dan kesenangan, mencampuradukkan antara yang disyariatkan dan yang dilarang, antara yang halal dan haram. Mereka serba permisif dan mengeksploitasikan kebebasannya, menyebarkan kesesatan terselubung maupun terang-terangan. Semuanya mengatasnamakan seni atau refresing. Mereka lupa bahwa hukum agama tidak melihat label namanya tetapi pada esensinya. Dan semua perkara itu tergantung apa yang dimaksudkan.

Tinggalkan komentar

Filed under Umum

Tinggalkan komentar